Di tingkat sekolah, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan ternyata masih banyak menemukan kendala-kendala yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Di antara kendala tersebut yang sepertinya luput dari pantauan banyak orang ialah masalah mutu pegawai tata usaha (TU) sekolah yang belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan. Disadari atau tidak, mutu pegawai tata usaha sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mutu sebuah sekolah. Tapi patut disayangkan, upaya peningkatan mutu dan kinerja pegawai tata usaha sekolah kelihatannya kurang mendapat perhatian.Memang harus diakui bahwa kunci utama peningkatan mutu pendidikan di sebuah sekolah adalah guru. Tanpa didukung oleh mutu guru yang baik upaya peningkatan mutu pendidikan akan menjadi hampa, sekalipun didukung oleh komponen lainnya yang memadai. Karenanya tentu sangat beralasan bila pemerintah saat ini lebih memfokuskan peningkatan mutu guru sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Apalagi kondisi saat ini sangat menuntut perlunya keseriusan untuk meningkatkan mutu guru.
Namun sekalipun prioritas utama sekarang ini tengah diberikan pada upaya peningkatan mutu guru, pemerintah tentu juga harus menolehkan perhatian pada upaya peningkatan mutu dan kinerja pegawai tata usaha sekolah. Sebagai sebuah sistem, sekolah juga terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Apabila ada satu komponen saja yang “error”, maka sistem sekolah juga akan turut “error”. Dalam realitasnya memang tidak jarang sistem sebuah sekolah menjadi “bermasalah” karena faktor mutu dan kinerja pegawai tata usaha yang (maaf) kurang kompeten.
Walaupun hubungan antara mutu pendidikan sebuah sekolah dengan mutu dan kinerja pegawai tata usaha sekolah merupakan hubungan yang bersifat tidak langsung, namun harus diakui (sekalipun tidak dilengkapi dengan data hasil penelitian) bahwa mutu dan kinerja pegawai tata usaha sekolah turut mempengaruhi mutu pendidikan sebuah sekolah. Karenanya, upaya peningkatan mutu pendidikan juga harus menyentuh peningkatan mutu dan kinerja kepala dan pegawai tata usaha sekolah agar mereka bisa memberikan kontribusi yang lebih besar bagi peningkatan mutu pendidikan di sebuah sekolah.
Tulisan ini sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menghakimi apalagi menvonis mutu dan kinerja pegawai tata usaha sekolah. Untuk menilai mutu dan kinerja sebuah profesi yang dilakoni banyak orang ini tentu selayaknya menggunakan data-data ilmiah yang lebih objektif. Jika penulis berasumsi bahwa mutu dan kinerja pegawai tata usaha sekolah masih rendah, itu hanyalah pendapat pribadi yang didasari oleh pengamatan penulis dari beberapa contoh kasus yang ada di sekitar lingkungan penulis. Sekalipun penulis berkeyakinan bahwa di sekolah lain nasibnya juga tidak akan terlalu jauh berbeda dengan contoh kasus yang penulis amati.
Ada beberapa indikator yang menunjukkan bahwa mutu dan kinerja pegawai tata usaha sekolah masih rendah, yaitu : pertama, masih banyak pegawai tata usaha sekolah yang tidak (belum?) mempunyai kemampuan, kecakapan atau keahlian yang memadai untuk mengerjakan tugas-tugas mereka (yang wajib apalagi yang sunat) dengan performa yang baik dan memuaskan. Contoh paling sederhana ialah masih sangat banyaknya pegawai tata usaha sekolah (mungkin juga termasuk kepala tata usaha) yang belum bisa mengoperasikan komputer dengan baik untuk urusan administrasi tata usaha sekolah. Padahal hampir seluruh administrasi sekolah saat ini menggunakan komputer. Selain itu, di bidang-bidang lain juga terlihat masih banyak kesemrautan kerja tata usaha sekolah seperti pengarsipan surat yang tidak tertata rapi, surat masuk dan keluar sering hilang, data-data sekolah banyak yang tidak lengkap dan tidak ada, dan kalaupun ada banyak yang tidak up to date.
Bila melirik pula ke perpustakaan yang juga menjadi bagian tugas dari tata usaha, “wajah” pustaka juga belum banyak mencerminkan sebuah perpustakaan yang telah mendapat sentuhan dari tangan-tangan pegawai yang profesional. Padahal ini semua sebenarnya barulah pekerjaan yang bersifat “melaksanakan”. Dan tentu bisa dibayangkan bila melaksanakan saja kurang beres, apalagi “merencanakan”. Jangankan disuruh membuat proposal maupun laporan kegiatan, sedangkan membuat konsep sehelai surat yang tidak ada contohnyapun terkadang tidak bisa. Padahal di setiap kegiatan sekolah (yang ada SK Panitia dan tentu juga ada honornya) selalu yang menjadi sekretaris adalah kepala tata usaha.
Kedua, masih rendahnya disiplin, loyalitas dan tanggung jawab pegawai tata usaha sekolah dalam menjalankan tugas-tugas mereka sebagai pegawai tata usaha sekolah. Ketaatan sebagian mereka barulah sekedar ketika ada kepala sekolah. Bila kepala sekolah tidak ada atau keluar karena suatu keperluan, maka para pegawaipun juga akan menghilang satu persatu. Dan yang lebih ironisnya lagi ternyata ada pegawai tata usaha yang “berani” datang kesekolah hanya beberapa hari sebelum dan sesudah tanggal baru, sekedar untuk mengambil “sisa gaji’.
Ketiga, masih belum tercerminnya pelayanan prima yang diberikan kepada siswa, orang tua, dan masyarakat. Banyak orang tua, siswa ataupun warga masyarakat yang berurusan kurang dilayani dengan penuh keramahan, penuh perhatian, cepat, tepat, mudah dan tidak berbelit-belit. Terkadang kala ternyata untuk mengurus surat pindah maupun surat keterangan saja harus “batele-tele”. Dan yang lebih parahnya lagi kadang-kadang harus pakai “tanda terimakasih” pula.
Keempat, masih belum nampaknya kecerdasan emosional, spritual, dan bahkan juga kecerdasan intelektual pegawai tata usaha sekolah dalam memecahkan berbaga permasalahan serta dalam berinteraksi di lingkungan sekolah. Masih banyak pegawai tata usaha yang justru lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bergunjing ketimbang untuk menorehkan prestasi kerja yang lebih baik. Bahkan tidak jarang kebiasaan bergunjing ini menjadi “api” yang menyebabkan permusuhan di dalam komunitas lingkungan sekolah. Ini semua tentu semakin memperjelas betapa (sebagian besar/kecil?) pegawai tata usaha sekolah belum memperlihatkan mutu dan kinerja yang memuaskan.
Masa depan sebuah sekolah sebagian besar ditentukan oleh orang-orang yang ada di sebuah lingkungan sekolah. Untuk meraih masa depan sekolah yang lebih baik, seyogyanya setiap personalia sekolah saling bersinergi, bekerjasama dan sama-sama bekerja dengan penuh keikhlasan untuk mewujudkan masa depan sekolah yang lebih baik, lebih mencerahkan dan lebih mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penempatan pegawai tata usaha sekolah ke depan seharusnya benar-benar mempertimbangkan mutu, kemampuan, kecakapan, atau keahlian yang memadai untuk melaksanakan tugas mereka di bidangnya masing-masing. Diharapkan ke depan pegawai tata usaha sekolah benar-benar tenaga profesional di bidangnya, seperti profesional di bidang manajemen perpustakaan, profesional di bidang manajemen keuangan sekolah, profesional di bidang kearsipan, profesional di bidang teknologi informatika komputer. Dan penempatan tenaga profesional di lingkungan tata usaha sekolah ini seyogyanya mengacu pada prinsip the righ man on the righ job.
Ini berarti untuk menjadi pegawai TU sekolah yang profesional dan berkontribusi positif terhadap peningkatan mutu pendidikan tidak cukup lagi hanya dengan mengandalkan ijazah SMA. Tanpa bermaksud mengurangi penghargaan terhadap segmen ini, tentunya sangat tidak adil menempatkan pegawai TU sekolah yang rata-rata Cuma berijazah SMA sementara mereka dituntut harus serba bisa dalam segala persoalan “tetek bengek” tata usaha sekolah. Padahal tugas-tugas TU sekolah semakin hari semakin kompleks dan semakin membutuhkan orang-orang yang betul-betul trampil dan profesional.
Dengan adanya penempatan tenaga profesional untuk menjadi pegawai tata usaha sekolah, diharapkan setiap komponen yang ada di sekolah akan mampu mengoptimalkan kinerja mereka masing-masing. Peran “ganda” yang selama ini banyak dimainkan guru diharapkan akan segera berakhir. Bila guru tidak ada lagi yang overlape, maka tentu guru akan lebih bisa mengoptimalkan kemampuannya untuk memacu peningkatan mutu pendidikan. Sekalipun di sisi lain harus diminta kerelaan guru yang memainkan peran ganda tersebut untuk melepas sebagian “lobang pintu masuk” mereka.
Di samping itu, dengan adanya tenaga profesional di lingkungan pegawai tata usaha sekolah diharapkan dapat semakin memacu peningkatan mutu manajamen sekolah. Apalagi dalam perspektif manajemen berbasis sekolah semakin menuntut tersedianya pegawai tata usaha sekolah yang benar-benar mampu berkontribusi positif dalam peningkatan mutu sekolah. Belajar dari pengalaman yang ada, ternyata cukup banyak sekolah yang dikelola dengan manajemen “tukang sate” yang berakibat terjadinya penumpukan pekerjaan sekaligus tanggung jawab pada seorang individu saja ( one man show ). Kesalahan ini tentu tidak bisa disebut murni kesalahan kepala sekolah semata, tetapi di dalamnya juga include faktor ketidakberdayaan kepala dan pegawai tata usaha sekolah untuk memainkan peran mereka masing-masing.
Selain memiliki kemampuan, keahlian atau kecakapan yang memadai, yang tidak kalah pentingnya ialah pegawai TU sekolah di masa depan harus memiliki visi dan komitmen yang kuat untuk turut memajukan dunia pendidikan. Sekolah di samping menjadi “lahan penghidupan” juga harus dipandang sebagai lahan untuk beramal. Sehingga setiap pekerjaan tidak harus selalu diukur dengan materi yang akan diterima. Seyogyanya prinsip hidup “berbuat dan memberikan yang terbaik” menjadi budaya setiap individu di lingkungan sekolah. Ini juga berarti pegawai TU sekolah juga harus memiliki kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial di samping kompetensi profesional. Semoga !
Tinggalkan Komentar